26 Februari 2008

Ibrani 9 : 1 5 – 2 2

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar . . .

[G]agasan tentang perjanjian merupakan hal yang pokok bagi pikiran penulis. Ia meng- artikan perjanjian sebagai hubungan antara Allah dan manusia. Perjanjian yang pertama tergantung pada ketaatan manusia terhadap hukum. Kalau manusia melanggar hukum, maka perjanjian itu batal. Kita harus ingat bahwa bagi penulis Surat Ibrani agama berarti jalan ma- suk kepada Allah. Oleh karena itu arti yang pokok dari perjanjian yang baru yang disahkan oleh Yesus adalah supaya manusia dapat sampai kepada Allah atau dapat bersekutu dengan Allah. Tetapi justru di sini terdapat kesulitan. Manusia yang datang pada perjanjian yang baru ternyata sudah penuh dengan noda yang disebabkan oleh dosa-dosa yang dilakukan dalam hukum perjanjian yang lama. Tata upacara korban yang lama tidak berdaya menebus dosa- dosa itu. Nah, penulis Surat Ibrani mempunyai pikiran yang hebat dan mengatakan bahwa korban Yesus Kristus berlaku surut. Artinya, korban Yesus Kristus berkuasa menghapuskan dosa-dosa manusia yang dilakukan di bawah perjanjian lama, dan berkuasa mengesahkan persekutuan yang dijanjikan di bawah perjanjian yang baru. Kesemuanya itu nampaknya sangat ruwet; tetapi di belakangnya terdapat dua kebenaran abadi. Pertama, korban Yesus menghasilkan pengampunan bagi dosa-dosa yang lama. Ka- rena perbuatan-perbuatan kita, maka kita seharusnya dihukum dan dikucilkan dari Allah. Teta- pi karena pengorbanan Yesus maka hutang dihapuskan, pelanggaran diampuni dan pengha- lang disingkirkan. Kedua, pengorbanan Yesus membuka hidup baru untuk hari depan. Jalan menuju persekutuan dengan Allah telah terbuka. Allah yang karena dosa-dosa kita telah men- jadi terasing bagi kita, kini karena pengorbanan Yesus menjadi sahabat kita. Karena pengor- bananNya, maka beban masa lalu telah disingkirkan jauh-jauh dan kini hidup menjadi hidup dengan Allah [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat Ibrani, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2006), hlm. 142f]. Informasi: The writer . . . show[s] that the new covenant that has replaced the Mosaic was instituted by Jesus’ sacrifice of himself (vv. 15-22). That sacrifice was so efficacious that “once for all at the end of the ages” Jesus was able to “do away with sin by the sacrifice of himself” (v. 26). This one sacrifice was enough to “take away the sins of many people” (v. 28) [kutipan dari New Internatioanl Encyclopedia of Bible Words (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1991), p. 468].

2. Eksposisi

2.1. Ayat 15-21: Bagaimana sampai “perjanjian baru” itu bagaikan sebuah “wasiat”? Wasiat merupakan suatu kontrak yang diatur sebelum si pembuat wasiat itu meninggal. Kristus membuat suatu perjanjian baru [Inggris: new cove- nant] dengan umatNya (Yer 31:31; Mrk 14:24; Ibr 8:8), yang, bagaikan sebuah wasiat, berlaku sesudah kematianNya. Dengan itu orang-orang Kristen kini bisa akrab dengan Allah (8:11) dan memperoleh pengampun- an (8:12). Keseluruhan Perjanjian Baru berisikan ajaran yang didasarkan pada perjanjian baru tadi.

2.2. Ayat 22 : Mengapa Allah menghendaki “penumpahan darah” untuk “pengampunan” dosa? Dosa adalah pelecehan terhadap kekudusan Allah. Oleh karena itu dosa hanya dapat dihapuskan melalui penghukuman mati. Maka ketika darah --- yang oleh orang-orang Israel dipahami sebagai dasar kehidupan --- dicurahkan, maka tindakan ini menyiratkan bahwa kehidupan telah dilepas pergi alias mati. Dalam Perjanjian Lama, tindakan tadi digambarkan melalui upacara korban sembelihan hewan. Dalam Perjanjian Baru pencurahan darah Yesus memenuhi tuntutan Allah tadi. Hanya dengan itu, maka peng- ampunan atas dosa diwujudnyatakan. [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), pp. 1733f].

3. Excursus

Perjanjian Lama . . . memainkan peranan yang penting dalam nasihat-nasihat surat Ibrani, yaitu sebagai “firman yang hidup dan yang kuat” (4:12), yang “pada hari ini” masih tetap dide- ngar (3:7,15). Namun Perjanjian Lama tidak lagi berfungsi sebagai kitab hukum, melainkan sebagai kitab yang mengandung contoh-contoh yang dapat dipakai untuk mendukung nasihat-nasihat yang diberikan. Dengan mengutip Yeremia 31:31 dst, maka si penulis men- jelaskan pendiriannya terhadap hukum Taurat; yaitu dengan mengadakan perjanjian yang baru antara Allah dan manusia, maka hukum yang lama juga diubah menjadi hukum yang baru (8:8 dst). Perjanjian yang baru itu ditandai oleh hubungan antara Allah dan manusia yang didasarkan pada pengetahuan yang langsung dan ketaatan yang bebas (ay. 10-11). Peraturan-peraturan yang lama seperti peraturan yang menyangkut makanan, minuman serta pelbagai macam persembahan, oleh si penulis dianggap sebagai “peraturan-perauran untuk hidup insani” saja, yang hanya berlaku untuk sementara waktu dan akan diganti de- ngan aturan-aturan yang lebih baik (9:9 dyb). Hanya karena Kristus yang mempersembahkan diriNya itulah perbuatan-perbuatan yang sia-sia itu dapat diganti dengan ibadah kepada “Al- lah yang hidup” (9:14 dyb) [kutipan dari Henk ten Napel, Jalan yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 191]. Pekejaan Kristus Menyoroti latar belakang kelemahan-kelemahan peraturan Harun, penulis menyingkap super- ioritas Kristus dalam pekerjaan-Nya yg mendamaikan, dan faktor-faktor utama yg terkait ada- lah: (i) final dan sempurnanya korban persembahan Kristus (7:27; 9:12,28; 10:10); (ii) sifat pribadi korban persembahan Kristus ialah Dia mempersembahkan diri-Nya sendiri (9:14); (iii) sifat rohani korban persembahan Kristus (9:14); dan (iv) dampak abadi dari pekerjaan Kristus sebagai Imam, yakni penebusan yg kekal (9;12). Peraturan Harun dengan upacara keagamaannya yg terus-menerus diulangi, tidak memiliki kualitas sifat korban persembahan Kristus . . . Klimaks dari uraian soteriologis ini mencapai kemuncaknya pada 9:14, di mana Kristus dikatakan telah mempersembahkan dirinya sendiri ‘oleh Roh yang kekal’. Inilah yg memberi- kan perbedaan mencolok sekali dari korban-korban upacara ibadah Harun yg tidak bisa me- nolong diri, dibandingkan persembahan Kristus sendiri yg dengan ikhlas dan sengaja Ia per- sembahkan sebagai Imam Besar kita [kutipan dari Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1 (Jakarta: YKBK/OMF, 1992), hlm. 415f].

- - - NR - - -

Yohanes 1 9 : 2 8 – 2 9

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1.Pengantar

Tidak lama kemudian tubuhNya menjadi kering akibat penyaliban itu. BibirNya melepuh. Dalam penderitaanNya yang dalam, regu serdadu mendengar bisikanNya, “Aku haus” (Yoh 19:28c). Salah seorang serdadu berbelas-kasihan terhadap Yesus. Ia mengambil bunga karang, mencelupnya dalam anggur asam, suatu minuman yang digunakan serdadu-serdadu itu untuk membius kesakitan. Dengan sebatang hisop, bunga karang itu disentuhkannya ke mulut Yesus. Yesus bersyukur kepada serdadu yang hatinya belum membatu itu dan masih mampu bersim- pati dengan penderitaan hebat seseorang [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebeneranya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 95]. Informasi: Ketika Yohanes menulis injilnya, kira-kira pada tahun 100, ajaran sesat gnostik sedang berpengaruh. Salah satu ciri ajaran ini ialah anggapannya bahwa yang rohani semuanya baik, sedangkan yang bersifat jasmani/benda semuanya jelek. Dengan anggapan ini, maka bagi mereka disimpulkan bahwa Yesus, sebagai Allah yang adalah roh adanya, sebenarnya tidak merasakan penderitaan di kayu salib. Menentang ajaran ini, Yohanes adalah satu-satunya penulis injil yang menyuguh- kan fakta bahwa Yesus merasa haus; “he wishes to show that [Jesus] was really human and really underwent the agony of the Cross [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of John, Vol. 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), pp. 257f.]. . . . John sees deeper than the natural. Jesus here fulfils the Scripture, and, John implies, to some degree deliberately. Already so many details of the Old Testament depictions of the divine sufferer have been fulfilled; Jesus seeks one more, that in Psalm 69:3, 21, ‘my throat is parched . . . and gave me vinegar for my thirst’ (cf. also Ps. 22:12-18). So the one who offered living water, which would mean never thirsting again, the one who cried on the last day of feast, ‘If anyone is thirsty, let him come to me and drink’, he now cries, I am thirsty [kutipan dari Bruce Milne, The Message of John (Leicester, England: IVP, 1993), p. 281].

2. Renungan [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib (Yogyakarta: Andi, April 2002), hlm 23 dan 25].

2.1. KEHAUSAN ILAHI Di dalam sebuah film dokumenter tentang kehidupan di gurun, banyak binatang maupun manusia yang mati kekeringan jika tidak segera mendapat air. Suku setempat biasanya menanam orang yang mengalami dehidrasi ke dalan tanah agar cairan tubuhnya tidak habis. Apa yang Yesus alami jauh lebih mengerikan daripada di gurun. Dia tidak meng- alami dehidrasi tubuh, namun kekeringan jiwa yang luar biasa. Pemazmur sangat paham akan hal ini ketika dia berkata, “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bi- lakah aku boleh datang melihat Allah?” (42:3). Kehausan Tuhan kita di atas kayu salib jauh lebih berat ketimbang yang dihasilkan dari dahi yang pening, lidah yang bengkak, dan tubuh yang kekeringan. Yang dialami Tuhan kita bukan hanya penderitaan fisik. Selama jam-jam yang panjang di atas kayu salib, Dia melalui siksaan neraka. Dia, Allah yang kasih-Nya tak terbatas, dibebani dengan kebencian umat manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dia, Allah dengan kekudusan sempurna, dibuat berdosa karena kita. Dia, Allah yang Mahakuasa, digantung “tak berdaya” di kayu salib untuk di- olok-olok oleh manusia yang rapuh. Kemudian, panasnya murka Allah diarahkan kepada- Nya. Semua penderitaan yang digabungkan jadi satu ini membuat-Nya mengalami dehi- drasi “jiwa” Yesus Kristus saat Dia merendahkan Diri-Nya sendiri dan patuh sampai mati. Tidaklah mengherankan jika Dia berteriak, “Aku haus.” Karena penderitaan yang dialami oleh Yesus, piala kita penuh saat ini, dan kelak kita akan bersama Dia di tanah di mana tidak ada lagi orang kehausan.

2.2. APA YANG ENGKAU LAKUKAN KEPADA SESAMA “Ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum” --- Matius 25:42 Kisah pemisahan antara domba dan kambing sangat akrab di telinga kita. Kepada domba Raja itu berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Kepada kambing Dia berkata, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyah- lah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuik Iblis dan malaikat-malaikatnya. Se- bab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus; kamu tidak mem- beri Aku minum.” Tanggapan dari domba dan kambing sama, “Bilamanakah kami melihat Engkau haus dan kami memberi (tidak memberi) Engkau minum?” Dan jawaban Raja itu adalah, “Se- sungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan (tidak kamu lakukan) untuk salah se- orang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya (tidak melaku- kannya) untuk Aku.” Kapan saja orang kesepian, tertekan, sakit, putus asa, dan terbelunggu dosa, ada Yesus yang berkata, “Aku haus.” Marilah kita memberi diri kita sendiri dan sumber daya yang kita miliki kepada orang lain. Marilah kita tanpa jemu-jemu besaksi kepada sesame tentang Air Hidup. Dengan jalan demikian, kita memuaskan dahaga orang banyak. Kare- na Dia berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untk Aku” (lih. Mat 25:31- 46).

3. Excursus Ucapan-ucapan Yesus . . . pada kenyataannya ada petunjuk yang kuat dalam Perjanjian Baru bahwa ucapan- ucapan Yesus sangat dihormati sebagaimana adanya. Itulah yang selayaknya dapat diha- rapkan dalam situasi Palestina abad pertama, mengingat para ahli Yahudi menuntut dengan tegas bahwa pengajaran yang berwenang harus dipelihara dengan saksama, dan kelihatan- nya umat Kristen khususnya para rasul memainkan peranan penting di dalam memelihara tradisi pengajaran Kristus dengan teliti. Lagi pula para ahli yang telah mempelajari secara rinci ciri-ciri linguistik dan gaya bahasa ucapan-ucapan Yesus dalam kitab-kitab Injil terkesan dengan gaya mengajar khas yang masih tetap dapat dilihat di dalamnya, walaupun selama bertahun-tahun diteruskan secara lisan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Tentu ini tidak berarti bahwa ucapan-ucapan Yesus selalu dimuat secara kata demi kata ke dalam kitab-kitab Injil. Mungkin sekali Yesus pada umumnya berbicara dalam bahasa Aram, sehingga ucapan-ucapan itu sekurang-kurangnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Jelas juga telah terjadi proses pemilihan akan ucapan-ucapan mana yang dipelihara dan dimasukkan ke dalam kitab-kitab Injil, dan dalam proses itu ucapan-ucapan tertentu kadang-kadang diatur kembali ke dalam kelompok-kelompok yang cocok bagi tujuan menga- jar. Perbandingan antara kitab-kitab Injil juga menunjukkan bahwa pengalimatan suatu ucap- an dapat berbeda-beda, guna menonjolkan hal-hal yang paling cocok dengan konteks para penulis. Kadang-kadang, terutama dalam Injil Yohanes, ucapan Yesus disadur dengan agak bebas. Tetapi semuanya itu sangat berbeda dengan menciptakan “ucapan-ucapan Yesus” sesuai dengan kebutuhan pada dasa warsa berikutnya, dan bahan bukti menunjukkan bahwa hampir tidak mungkin ada kebiasaan seperti itu. Walaupun ada sedikit perbedaan di dalam pengalimatan dan urutan ucapan-ucapan yang terpelihara, kita mempunyai alasan yang kuat untuk mengandalkan isi pengajaran Yesus seperti yang tercatat dalam kitab-kitab Injil [kutipan dari R.T. France, Yesus Sang Radikal, terj. (Jakarta: BOPK-GM, 1996), hlm. 184f.].

- - - NR - - -

21 Februari 2008

Lukas 23 : 33 – 34

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Lukas menyuguhkan tiga dari tujuh ucapan Yesus di kayu salib.

[1] “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (23:34). [2] “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (23:43). [3] “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (23:46).

2. Informasi
2.1. Ucapan yang kedua menguatkan hati salah seorang penjahat yang bertobat dari semua tindakannya yang melanggar Kehendak Allah. Apakah alasan dia memandang Yesus dari sudut yang lain daripada rekannya, yang menghujat Yesus dengan menyatakan, “Bukan- kah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami (Luk 23:39), itu tidak kita ke- tahui. Tetapi ia merasa dirinya terdorong untuk bersandar kepada Yesus yang sama le- mahnya seperti dia. “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” [ay. 42]. Pernyataan iman itu menerima penghiburan yang setimpal, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firda- us” [ay. 43b] [kutipan dari Robert R. Boehlke, Siapakah Yesus Sebenarnya? (Jakarta: BPK-GM, 1991), hlm. 94].

2.2. Why is Luke the only writer who tells the thief’s repentance? (23:40-42) According to Luke, one robber had a change of heart. The apparent difference between Luke’s account and that of Matthew and Mark seems to stem from the timing of events when both robbers hurled insults at Jesus (Matt. 27:41-44; Mark 15:27-32). Luke picks up the story when one of them, seeing Jesus forgive his executioners (Luke 23:34), deter- mined that Jesus could be trusted. The contrast of responses from each of the criminals is striking [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1519].

2.3. “Firdaus” (Inggris: paradise) berasal dari bahasa Persia. Artinya: sebuah kebun bertem- bok (Inggris: a walled garden). Kalau Raja Persia hendak menyatakan penghargaannya kepada seseorang, ia mengundang orang tsb. untuk menemaninya berjalan-jalan di kebun istana. “It was more than immortality that Jesus promised the penitent thief. He promised him the honoured place of a companion of the garden in the courts of heaven” [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of Luke (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981].

3. Renungan [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib (Yogyakarta: Andi, April 2001), hlm. 9ff.].

3.1. KESAKSIAN PENJAHAT YANG BERTOBAT Setelah Yesus berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka,” Dia lalu berkata kepada penjahat yang bertobat bahwa dosanya sudah diampuni. Sumber dari tradisi gereja menyatakan bahwa penjahat yang bertobat tersebut bernama Dymas. Dia divonis hukuman mati atas tuduhan pemberontakan. Yang menarik adalah pandangan si pemberontak ini tentang Kristus. Ketika penjahat yang lainnya mengejek Yesus dengan berkata: “Bukankah Eng- kau adalah Kristus? Selamatkanlah diriMu dan kami (Luk 23:39). Tetapi penjahat yang bertobat itu menegornya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang eng- kau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita me- nerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesu- atu yang salah” (Luk 23:39-41). Inilah kesaksian orang yang menyadari bahwa penghakiman Allah haruslah ditakuti, bahwa setiap perbuatan dosa pasti ada hukumannya dan bahwa Dia yang disalib di tengah-tengah mereka sebenarnya tidak patut mendapat perlakuan seperti itu. Bagaimana penjahat itu bisa tahu bahwa Dia yang disalib suatu saat akan memerintah sebagai Raja? Apa yang terjadi selama masa-masa siksan itu sehingga bisa membuatnya yakin bahwa Yesus akan membawanya kepada keabadian? Kita tidak tahu pasti. Tetapi mungkin saja ia mengambil kesimpulan setelah ia mendengar Yesus berdoa: “Ya, Bapa, ampunilah mereka”. Adakah orang yang tidak tersentuh hatinya mendengar doa seperti itu? Tuhan sering memakai roh pengampunan untuk membawa banyak orang berdoa da- tang kepada-Nya. Bersediakah Anda dipakai Allah menjadi saluran pengampunan bagi orang lain?

3.2. AJARAN TENTANG KESELAMATAN Doktor C.L. Edman pernah berkata: “Kisah tentang penjahat yang bertobat menjadi suatu peristiwa yang pernah ditulis dalam Alkitab yang paling mengesankan, menyentuh, dan menggerakkan hati.” Janji sang Juru Selamat kepada orang berdosa di saat menit-menit terakhir di sisa hi- dupnya ini langsung menyanggah pengajaran yang saat itu diterima orang banyak. Sudah jelas sekarang bahwa keselamatan dan hidup kekal ini tidak bisa diperoleh dengan berbu- at baik. Si pemberontak yang dieksekusi ini semasa hidupnya penuh dengan perbuatan dosa, tetapi saat itu juga diampuni dan masuk surga. Padahal dia belum sempat melaku- kan perbuatan baik. Kejadian ini juga mematahkan ajaran tentang api penyucian. Penjahat yang bertobat ini jelas tidak punya cukup waktu untuk menghapus dosa-dosanya. Janji Tuhan sudah jelas, yaitu “Hari ini juga, engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus”. Janji Yesus yang hampir wafat kepada penjahat yang bertobat ini sekaligus merontok- kan paham universalisme. Yesus hanya menjanjikan keselamatan kepada satu di antara dua penjahat. Hanya penjahat yang menyesali dosanya saja yang bisa masuk sorga. Percaya dengan hati dan mengakui dengan mulut merupakan hubungan pribadi yang mendasar antara manusia dengan Juru Selamat [bnd. Rm 10:9-10]. Penjahat yang satu masuk ke dalam kemuliaan Surga, sedangkan yang lainnya tidak. Bila Anda mati hari ini, ke mana roh Anda akan pergi? Bagi orang yang sudah menge- nal Yesus secara pribadi, jawabannya sudah pasti, yaitu bersama Dia di Firdaus.

3.3. BERSAKSI DI DEPAN PENENTANG

Di taman Firdaus atau kerajaan Surga, keadaannya adalah selalu “hari ini”. Menurut Dr. R.G. Lee, Tuhan tidak pernah berjanji esok hari bagi manusia, melainkan selalu untuk hari ini. Yesus berkata kepada Zakheus yang menyesali dosanya, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini” (Luk 19:9).Yesus tidak pernah mengecewakan orang yang datang dan percaya kepada-Nya. Dia segera memberikan tanggapan secara positif pada iman orang itu. Iman yang dimiliki penjahat yang disalib bersama Yesus sangat menyentuh perasaan kita. Dia menyadari bahwa dirinya adalah orang yang penuh dengan dosa dan patut untuk dihukum. Dia paham bahwa setiap kejahatan memang layak mendapatkan hukuman. Dia percaya bahwa Yesus sebenarnya tidak berdosa dan telah dihukum secara tidak adil. Dia percaya adanya kebangkitan orang mati. Dia sepenuhnya yakin bahwasanya penyaliban itu bukan merupakan akhir dari segalanya bagi Kristus maupun dirinya. Sambl meringis menahan sakit, penjahat ini mengungkapkan semua keyakinan iman- nya. Di hadapan banyak orang yang menghujat dan menentang Yesus, penjahat ini justru mengakui dengan tegas bahwa Yesus adalah Tuhan. Betapa indahnya pengakuan iman ini. Maka tak heran Tuhan segera menanggapinya. Ada orang yang berkata, “Hari ini adalah hari pertama dalam sisa hidupku”. Tapi bisa jadi hari ini justru “hari terakhior” dalam hidupnya. Karenanya cukup beralasan bila dalam Alkitab tertulis, “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hati- mu” (Ibr 3:7-8). Jangan tunggu sampai besok hari untuk mendengarkan suara Tuhan. Bu- ka hatimu hari ini juga. - - - NR - - -.

Ayub17 : 11 – 16

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar
Ayub sungguh-sungguh kini telah terpuruk, merana dan menderita. Hewan ternaknya dirampok, sebagian lagi mati dilalap api. Anak-anaknya semua mati tertimpa rumah yang rubuh ditiup oleh angin ribut. Tidak lama sesudah itu Ayub sendiri diserang sejenis penyakit kulit, yang setiap saat menimbulkan siksaan fisik baginya. Tiga orang teman akrabnya datang untuk menghibur Ayub. Terjadilah dialog antara ketiga temannya tadi dengan Ayub. Bagaikan dalam pertandingan tinju, selama tiga ronde yang panjang (pasal 3-27), Ayub dan teman-temannya saling menyerang. Pada dasarnya ketiga temannya itu senada dalam keyakinan bahwa Allah memberi pahala kepada mereka yang berbuat baik dan menghukum yang berbuat jahat. Untuk mereka, Ayub menderita karena dosa-dosanya. Dan itu berarti, Allah sedang menghukum Ayub! Elifas telah selesai berbicara dalam memulai ronde kedua.(pasal 15). Menurut Elifas, orang fasik akan binasa. Ayub menanggapi (pasal 16-17) pandangan Elifas tadi. Jadinya bacaan kita hari ini (17:11-16) terdapat dalam bagian ini, yang merupakan kata-kata Ayub kepada Elifas

2. Sinopsis (16:1-5) :
Ayub menyebut para sahabatnya ‘penghibur sialan” (ayat 2). (16:6-17) : Ayub mengeluh terhadap Allah. Ayub merasa bahwa Allah telah membuat dia lelah/kecapekan (ayat 7). Kesalehan Ayub kembali menjadi paradoks --- Ayub bisa mengerti kalau Allah bertindak demikian terhadap orang fasik --- tetapi bukan terhadap dia! (ayat 11-17). (16:18-17:2): Ayub memohon dengan berharap kepada ‘saksi’-nya di sorga. (17:3-16) : Ayub menanti-nantikan kematian. Mata Ayub makin kabur karena kepe- dihan hatinya (17:7), dan para sahabatnya tidak berguna sebagai penghibur (17:10). Selanjutnya Ayub merasa tiada lagi harapan baginya (17:15). [Sumber dan kutipan dari David Atkinson, Ayub, terj. (Jakarta:YKBK/OMF, n.d.), hlm. 115 dst.].

Excursus: Sebagai manusia biasa di dunia ini, Ayub dipanggil untuk menjalani ujian cobaan dengan akibat-akibat kosmis. Ia tidak melihat secercah cahaya untuk memimpinnya, tidak ada petunjuk sedikit pun bahwa dunia yang tidak nampak itu [yakni sorga] memperhatikan- nya atau bahkan ada. Bagaikan binatang percobaan di laboratorium, ia dicomot untuk membereskan salah satu masalah paling mendesak dari umat manusia dan untuk menentukan sebagian kecil dari sejarah alam semesta. ………………………………………………………………………………………

Teladan yang diberikan Ayub menunjukkan dengan jelas bagaimana kehidupan dunia ini membawa pengaruh terhadap alam semesta. Pada waktu saya baru memulai penyeli- dikan, saya cenderung menghindari adegan yang “memalukan” di dalam pasal 1. Namun saya sekarang percaya bahwa entah itu berupa drama atau sejarah, Pertaruhan [antara Allah dan iblis] itu telah menawarkan berita pengharapan yang besar bagi kita semua. Hal ini mungkin merupakan pelajaran terpenting dan abadi dari Kitab Ayub. Pada akhirnya, Pertaruhan itu secara meyakinkan telah menentukan bahwa iman seorang percaya sungguh sangat berarti. Kitab Ayub menegaskan bahwa tanggapan kita terhadap ujian benar-benar berarti. Sejarah manusia dan sejarah iman saya pribadi [adalah] termasuk di dalam drama agung tentang sejarah alam semesta ini. Pascal berkata bahwa Allah telah memberikan “martabat yang mendatangkan akibat” kepada kita. Sama seperti Elihu, kita dapat saja meragukan apakah satu orang mampu membawa akibat berarti. Namun Alkitab sarat dengan petunjuk bahwa sesuatu seperti Pertaruhan itu juga dijalankan terhadap sejumlah orang percaya lainnya. Kita merupakan andalan Allah, suatu karya yang patut dipamerkan kepada dunia yang tidak nampak itu. Rasul Paulus meminjam adegan yang diambil dari pawai gladiator di Koloseum lalu melukiskan dirinya seolah-olah sedang ditonton orang banyak. “Sebab kami telah men- jadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia.” Dan didalam surat yang sama ia menimpali dengan bisikan bernada heran, “Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?” Kita menghuni sebuah planet yang hanya merupakan setitik kecil di pinggiran galaksi yang juga sekedar salah satu dari jutaan galaksi lainnya di alam semesta yang teramati. Namun Perjanjian Baru menegaskan bahwa apa yang terjadi atas kita di sini akan turut menentukan masa depan alam semesta itu sendiri. Rasul Paulus mengatakan dengan tegas, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan.” Ciptaan alamiah yang sedang “mengerang” dalam kebusukan hanya dapat dibebaskan melalui perubahan dalam diri manusia [kutipan dari Philip Yancey, Kepercayaan terhadap Allah, terj. (Surabaya: Yakin, t.t.), hlm. 139f.].

3. Pertanyaan-Pertanyaan
3.1. Bagaimana “mereka” (yakni para sahabat Ayub) telah memunculkan terang (ayat 12)? Kemungkinan pertama, Ayub mengejek (“sarcasm’) para sahabatnya. Kemungkinan lain ialah Ayub secara tersamar mau menyatakan betapa tidak bermanfaatnya para sahabatnya itu, termasuk saran-saran mereka, betapapun mereka berusaha menghi- burnya [Sumber: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003, p. 725].

3.2. Pertanyaan untuk diskusi: Bagaimana berharap dalam keadaan yang kelihatannya tidak ada harapan (ayat 15)? What hope is there for the discouraged or depressed? (17:15) That we are not alone. God is present with us even in the depths of our despair [Mzm 139]. We also need to be reminded that stretches of depression or discouragement are not forever but only for a season, though long the season may seem. Our ultimate hope, however, lies in Christ, who promises one day to wipe away every tear (Rev. 21:4) [kutipan dari Quest Study Bible, loc. cit.]. Hidup artinya mengharapkan. Itu benar. Kita berharap, sepanjang kita hidup, dan kita hidup dan bangun selama kita masih dapat berharap. Bila kita berharap maka kita membuka diri bagi masa depan. Kesadaran kita menjadi waspada. Hati kita menjadi luas dan mau menerima hal-hal yang akan datang. . . .

Tetapi, pengharapan juga akan membuat kita mudah tersinggung secara mendalam terhadap sakitnya kekecewaan. Pengharapan membuat kehidupan menjadi hidup dan indah. Tetapi, pengharapan juga membuat kematian menjadi mati dan mengubah penderitaan yang bisu menjadi kesakitan yang sadar. Jadi, hal itu mengundang risiko bagi kita jika kita hidup berdasarkan pengharapan. Oleh karena itu, kita sesungguhnya berpengharapan dan membuka diri melalui pengharapan sejauh kita dapat percaya. Tanpa keyakinan akan nasib yang penuh rahmat, kita tidak akan membukakan diri terhadap apa yang akan datang. Kita akan menutup diri kita dengan kekhawatiran dan kita memper- tahankan diri terus-menerus terhadap masa depan yang tidak berkesinambungan itu. Tanpa keya- kinan, kita sama sekali tidak berani dan juga tidak dapat menang. Berharap, membuka diri terhadap pengalaman, dan suatu keyakinan yang mantap, membuat hidup menjadi kehidupan yang berharaga karena keyakinan membuat kehidupan berharga. . . .

Apabila hidup berarti mengharapkan, maka kebalikannya adalah juga benar: Barangsiapa yang kehilangan pengharapan dari kehidupannya, dia mati [kutipan dari J. Moltmann, Khotbah Masa Kini (5), terj. (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 149f.]. - - - NR - - -

11 Februari 2008

Matius 2 7 : 4 5 – 4 9

DITINGGALKAN ALLAH

“Suatu perasaan akan kehadiran Allah.” Ini [adalah] satu di antara pasal-pasal yang paling menggentarkan di dalam seluruh Alkitab, yaitu di mana Yesus, pada saat Dia digantung di atas salib, berteriak, “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46; Mar- kus 15:34). Di bagian luarnya kata-kata ini menunjukkan bahwa di saat kebutuhanNya yang pa- ling dalam Yesus ditinggalkan oleh Bapa yang telah menjadi tempat menaruh kepercayaan sede- mikian rupa. Orang-orang Kristen yang saleh dan sungguh-sungguh selalu menemukan kata-kata ini sangat sulit, dan penggalian terhadap ayat-ayat yang memuatnya [bnd. Mzm 22] telah mema- kai nada ingin tahu.

Beberapa orang merasakan ini “suatu perkataan yang sulit”, memang benar, terlalu sulit untuk diterima. Mereka telah mencari perlindungan dalam perbedaan antara apa yang dirasakan seseo-rang dan apa yang benar-benar terjadi. . . . Kita semua tahu apa artinya merasa terpencil. Setiap orang menentang kita, kita pikir, dan Allah tidak peduli. Tetapi kemudian setelah saat-saat paling buruk berlalu dan kita dapat berpikir dengan lebih jelas, kita menyadari bahwa semuanya ini ha- nya khayalan, bahwa sebenarnya Allah mempedulikan kita dan bahwa kita tidak seharusnya me- makai perasaan kita di saat-saat kita yang paling buruk, seakan-akan memberikan suatu catatan akurat mengenai kenyataan dari situasi itu.

Namun apakah kita dibenarkan dalam memakai kesalahpahaman kita terhadap segala kesulitan kita sebagai petunjuk akurat terhadap pemikiran Yesus pada waktu kematianNya? Tampaknya ti- dak ada alasan untuk ini. Kita tidak dapat berkata bahwa karena kita begitu mudah menjadi lemah dan salah sangka, inilah yang terjadi pada diri Yesus. Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa di dalam perkataan ini pun Yesus berbicara mengenai Allah-”ku”; keyakinanNya tetap nyata dan teguh. Pada waktu Dia ditinggalkan itupun Dia dapat berkata tentang Allah sebagai AllahNya

sendiri. Dan yang penting bagaimanapun Dia tidak mengumpat atau mengkritik Allah. Kata-kata itu adalah kata-kata kebingungan, tetapi juga merupakan kata-kata yang menyatakan kepercaya- an. Tentunya Yesus sedang memandang dengan mata tajam pada apa yang sedang terjadi, dan untuk mengatakan bahwa Dia telah benar-benar salah mengerti akan situasi itu, tidak dapat dije- laskan sama sekali. Malahan tampaknya kita lebih banyak salah paham terhadap Dia dibanding- kan Dia salah paham terhadap Allah. [ . . . ]

Itu tidak berarti bahwa Yesus berhenti mempercayai Bapa. Teriakan yang sebenarnya “Allah- Ku” dengan kata ganti empunyanya “Ku” menghubungkan Orang yang mengucapkannya dengan Allah yang telah meninggalkanNya. Dia mempunyai iman yang teguh dan tabah terhadap Allah, sekalipun Dia tahu Allah telah meninggalkanNya. Kosuke Koyama [seorang teolog Jepang] me- ngutip Luther, “Dia melarikan diri kepada Allah terhadap Allah! O iman yang teguh! [ . . . ]

Mungkin kita harus mengerti keadaan ditinggalkan itu sebagai perwujudan murka Allah ter- hadap segala kejahatan, murka yang ditanggung Kristus di dalam kematianNya yang menyela- matkan. Alan Richardson mengutip Markus 15:34 sebagai salah satu di antara pasal-pasal yang membenarkan dia dalam berkata, “Salib Kristus adalah sesuatu yang kelihatan, wahyu historis mengenai orge tou Theou: itulah wahyu yang teragung tentang murka Allah terhadap segala kefasikan dan kelaliman manusia” (ayat-ayatnya yang lain adalah Roma 1:18, II Korintus 5:21) [kutipan dari Leon Morris, Salib Yesus, terj. (Malang: SAAT, 1991), hlm. 80ff.].

MENGAPA ENGKAU MENINGGALKAN AKU

AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku? --- Matius 27:4

Allah ditinggalkan Allah? Bagaimana kita bisa mengerti misteri agung ini? Kita tidak dapat mengerti. Meskipun membingungkan, Roh Allah memberi kesaksian kepada roh kita bahwa hal itu benar.

Tidak pernah ada dalam pelayanan Tuhan kita saat Dia sangat sadar akan ketidakhadiran Bapa-Nya. Dia tahu Bapa-Nya selalu dekat, selalu terlihat dan selalu mendengarkan-Nya. Namun, seka- rang situasinya berbeda. Dia ditinggalkan oleh Teman abadi-Nya. Dan bagaimanpun Dia tahu hal ini benar --- memang harus seperti itulah adanya. Karena pada jam-jam seperti itulah Kristus, yang tidak mengenal dosa, dibuat berdosa untuk kita. Dan Allah, yang mata suci-Nya tidak bisa melihat kejahatan, tidak dapat melihatnya.

Selama tiga jam yang panjang dan gelap itu, Yesus mengalami siksa kutuk. Dari semua sik- saan itu tidak ada yang lebih besar ketimbang kesadaran bahwa Dia terpisah dari Bapa-Nya. Hal ini berarti ada tanpa damai, sukacita, dan harapan. Hal ini berarti menderita penderitaan, rasa ber- salah, dan pengutukan diri yang datang dari kesadaran bahwa Allah tidak senang melihat Anda. Dan begitu dalamnya penderitaan itu menusuk hati-Nya yang pernah mendengar Bapa-Nya ber- kata, “Inilah anak yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.”

Ya, tali-tali maut telah menjerat-Nya (Mzm 116:3). Namun Allah telah menjanjikan pembe- basan, meskipun janji itu baru terwujud saat Yesus minum dari cawan maut yang menanggung dosa kita.

Dia menjerit penderitaan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Menyediakan jawaban bagi ucapan syukur kita, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau menerima Aku?” Marilah kita berhenti sejenak untuk mengucap syukur kepada-Nya . . .

[kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2001), hlm. 18].

Informasi: Yang satu ini, adalah puncak yang paling tinggi dan sekaligus dasar yang paling dalam dari semua

penderitaan! Topnya semua penderitaan! Yaitu: konsekuensi atau akibat yang paling fatal dari dosa!

Apa itu? Tidak lain adalah: keterpisahan dan keterasingan dari Allah. Dosa tidak lain adalah meninggalkan

Allah. Karena itu akibat dosa yang paling hebat adalah: ditinggalkan oleh Allah!

Semua bentuk penderitaan yang lain tidak membuat Yesus berteriak. Tetapi ketika yang satu ini Ia alami, Ia

berteriak menyayat hati: Eloi, Eloi, lama sabakhtani!

Dan ingat, Ia sampai berteriak begitu, adalah karena kita. Ia yang tidak berdosa telah dijadikan berdosa ganti

kita, karena kita, sebab kita! Supaya apa? Supaya kita tidak perlu lagi mengalami apa yang Ia alami.

Teriakan Yesus pada hari Jumat siang itu, dari satu sudut, memang sudah merupakan sejarah. Sudah lewat.

Sudah lalu. Tetapi dari sudut lain, teriakan itu sebaiknya kita dengar terus seperti bunyi sirene tanda bahaya!

Ya, tanda bahaya!

Tanda bahaya apa? Bahaya dosa! Yaitu betapa fatalnya akibat dosa itu! Yesus saja sampai berteriak ketika

mesti mengalaminya! Teriakan itu ibarat bunyi sirene yang mau mengingatkan kita: Awas dosa! Jangan pan-

dang enteng dosa! Jangan main-main dengan dosa! Ingat akibatnya!

Dosa itu kadang-kadang memang enak. Enak saja kita meninggalkan Allah. Tetapi ingat, eling, apa akibatnya

kalau kita ditinggalkan Allah! Ini tidak main-main. Yesus saja sampai berteriak: Eloi, Eloi, lama sabakhtani! Be-

lum pernah ‘kan Dia berteriak sepedih itu? [kutipan dari Eka Darmaputera, Jalan Kematian, Jalan Kehi-

dupan (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm. 32f.].

Did God actually forsake Jesus? (27:46)

The divine and human natures of Jesus were never separated, even during the crucifixion. Yet it is clear,

difficult as it is to explain, that Jesus’ intimate fellowship with God the Father was temporarily broken as he

took the sin of the entire world on himself. Jesus used the words of Psalm 22, which begins with despair but

ends with renewed trust in God [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Michigan: Zondervan,

2003), p. 1432].

- - - NR - - -

Islam and Christianity:

Changing the subject; Pope Benedict and Muslims
by Richard John Neuhaus

First Things: A Monthly Journal of Religion and Public Life 2-01-2008 After Pope Benedict's historic address on faith and reason at Regensburg University on September 12, 2006, a group of thirty-eight prominent Muslims from diverse schools of thought wrote him a letter in the hope of arriving at "mutual understanding." The thirty-eight grew to 138, and this past October 13 they addressed a second letter to the pope and an array of other Christian leaders. The letter is titled "A Common Word Between Us and You" and calls for theological and doctrinal dialogue based on the dual commandment of love for God and neighbor.

The October letter received rave reviews in the mainline media of the West, with John Esposito, a scholar of Islam at Georgetown University, declaring it a "historic event" that puts the ball in the Vatican's court. A group at Yale Divinity School composed a letter in response, Loving God and Neighbor Together," and solicited about three hundred signers for its full-page publication in the New York Times of November 13.

The Yale letter lavishes praise on the initiative of the 138 and is almost gushing in its gratitude for the expression of Muslim goodwill. The 138 had written: "As Muslims, we say to Christians that we are not against them and that Islam is not against them--so long as they do not wage war against Muslims on account of their religion, oppress them, and drive them out of their homes." In Iraq and Afghanistan,soldiers, most of whom are Christian, have waged war against fighters who are Muslim, but not on account of their religion. Unless, of course, the 138 agree with al-Qaeda that the Jihadists are indeed fighting in the cause of Islam.

The response of the Yale letter is very, well, very Christian. Very Christian, that is, in the way that Nietzsche caricatured Christianity as the supine morality of losers. The letter says: "Since Jesus Christ says: 'First take the log out of your own eye and then you willsee clearly to take the speck out of your neighbor's eye,' we want to begin by acknowledging that in the past (e.g. in the Crusades) and in the present (e.g. in excesses of the 'war on terror') many Christians have been guilty of sinning against our Muslim neighbor. ... We ask forgiveness of the All-Merciful One and of the Muslim community around the world."

The question of whether the Christian effort to reconquer the HolyLand after it had been conquered by Muslims was sinful is, to say the least, debatable and much debated. Placing the war on terror between quotes is telling. That murderous Jihadists have, in the name of Islam, declared a terrorist war on the West is a subject delicately evaded in both the letter of the 138 and the Yale response.

Certainly every opportunity for dialogue is to be nurtured, but dialogue that makes for peace is dialogue in truth that does not indulge sentimentality and wishful thinking at the expense of honesty and justice. The great majority of those who signed the Yale letter are, as one might expect, from the mainstream of liberal Protestantism. There are a few Catholics: the aforementioned John Esposito; Thomas Rausch, S.J., of Loyola Marymount; and Donald Senior of the Chicago Theological Union. There are a surprising number of evangelicals, some of whom have a reputation for thoughtfulness: Richard Cizik, Timothy George, Bill Hybels, Duane Litfin, Richard Mouw, David Neff, Robert Schuller, John Stackhouse, Glenn Stassen, John Stott, Jim Wallis, Rick Warren, and Nicholas Wolterstorff.

A prominent evangelical who declined to sign the letter told me, "I'm telling our guys to wait and see how the Vatican responds. Rome has guys who know this stuff and has been dealing with Muslims for centuries. Our guys don't know from squat and are jumping on a train runby liberals who have been wrong on just about everything you can name." Thereby hangs a tale.

Rome's response to this letter from Muslims, as to the letter of 2006, has been both calm and cool. The reason is that Muslim leaders have been persistently changing the subject. The subject is not theological dialogue about how or whether Christianity and Islam teach the love of God and neighbor. The subject, Benedict has said at Regensburg and elsewhere, is the relationship between faith and reason, between violence and persuasion, between coercion and religious freedom.

Pope Benedict said in his Christmas 2006 address to the Roman Curia: "In a dialogue to be intensified with Islam, we must bear in mind the fact that the Muslim world today is finding itself faced with an urgent task. This task is very similar to the one that was imposed upon Christians since the Enlightenment, and to which the Second Vatican Council, as the fruit of long and difficult research, found real solutions for the Catholic Church. ... On the one hand, one must counter a dictatorship of positivist reason that excludes God from the lifeof the community and from public organizations. ... On the other hand, one must welcome the true conquests of the Enlightenment, human rights, and especially the freedom of faith and its practice, and recognize these as being essential elements for the authenticity of religion. ... Also the Islamic world with its own tradition faces the immense task of finding the appropriate solutions to these problems. ... We Christians feel ourselves in solidarity with all those who, precisely on the basis of their religious convictions as Muslims, work to oppose violence and for the synergy between faith and reason, between religion and freedom."

These are the questions that need to be engaged in an honest and constructive dialogue with Islam. As Jean-Louis Cardinal Tauran, head of the Pontifical Council for Interreligious Dialogue, has explained,what we in the West mean by theological dialogue is exceedingly difficult with Islam. "Muslims," he says, "do not accept discussion aboutthe Koran, because they say it was written under the dictates of God. With such an absolutist interpretation, it is difficult to discuss the contents of the faith." The questions posed by Benedict about reason and faith, religion and freedom, entail an understanding of reciprocity. "In dialogue between believers," says Tauran, "it is understood that what is good for one is good for the other. It should be explained to Muslims, for example, that, if they are allowed to have mosques in Europe, it is normal for churches to be allowed in their countries." Rome has indeed had centuries of experience in these matters.

On November 29, Tarcisio Cardinal Bertone, secretary of state, wrote to Prince Ghazi bin Muhammad bin Talal of Jordan, the chief organizer of the letter of the 138, on behalf of the pope: "Common ground allows us to base dialogue on effective respect for the dignity of every human person, on objective knowledge of the religion of the other,on the sharing of religious experience, and, finally, on common commitment to promoting mutual respect and acceptance among the younger generation. The Pope is confident that, once this is achieved, it willbe possible to cooperate in a productive way in the areas of cultureand society, and for the promotion of justice and peace in society and throughout the world."

The letter concludes: "With a view to encouraging your praiseworthy initiative, I am pleased to communicate that His Holiness would be most willing to receive Your Royal Highness and a restricted group ofsignatories of the open letter, chosen by you. At the same time, a working meeting could be organized between your delegation and the Pontifical Council for Interreligious Dialogue, with the cooperation of some specialized Pontifical Institutes (such as the Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies and the Pontifical Gregorian University). The precise details of these meetings could be decided later,should this proposal prove acceptable to you in principle."

In sharpest contrast to the embarrassing effusions of the Yale letter, the response of the Holy See represents, I believe, just the right mix of cordiality, clarity, candor, and caution. Of most particular importance, it keeps the focus on the sources of terrorism and oppression perpetrated in the name of Islam. That, after all, is what prompted these exchanges in the first place, and it serves neither peacenor understanding to acquiesce in the efforts of Muslim leaders to change the subject. As of this writing, the response of Prince Ghazi bin Muhammad bin Talal, if any, has not been made public.

Matius 2 5 : 3 1 – 4 6

Kini marilah kita beralih kepada perumpamaan “Penghakiman Terakhir”. “Apabila anak manusia datang dalam kemulianNya”, begitulah ia dimulai “Ia akan bersemayam di atas takhta kemulianNya, lalu semua bangsa akan berkumpul di hadapanNya”. Ini me-

nunjuk kepada penggenapan kerajaan Allah pada akhir zaman waktu umat manusia tiba di akhir perjalanannya, akan bertemu bukan dengan ketiadaan tetapi dengan Allah di dalam Kristus. Lalu [pertanyaan pertama] siapakah yang akan bertindak sebagai hakim? Jawabnya ialah “Anak Manusia”, yang kemudian dalam perumpamaan ini disebut juga sebagai “Raja”, yaitu Kristus sendiri. [ . . . ]

Pertanyaan kedua ialah: Siapakah orang-orang yang berdiri di hadapan takhta pengha- kimanNya? Siapakah subyek penghakiman ini? Para ahli bersepakat bahwa “bangsa-bangsa” di sini berarti orang-orang bukan Yahudi, yakni dunia kafir. Disini kita mene- mui jawaban Tuhan terhadap pertanyaan kita, “Dengan ukuran apakah orang-orang kafir yang belum mengenal Engkau itu akan dihakimi?” JawabNya, “Orang-orang kafir itu telah bertemu dengan Aku melalui saudara-saudaraKu, sebab orang-orang miskin itu adalah saudara-saudaraKu. Karena itu, mereka akan diadili menurut belas kasihan mereka terhadap orang-orang yang menderita, melalui siapa mereka telah bertemu dengan Aku secara incognito; dan kalau mereka telah memenuhi tuntutan hukum kasih yang agung itu, mereka akan mengambil bagian di dalam kerajaan sorgawi BapaKu.”

Jadi, “pembenaran” pada hari akhir untuk mereka yang belum mengenal Kristus akan merupakan pembenaran berdasarkan kasih. Dan jika akan dijatuhkan hukuman kepada orang-orang lain, itu adalah karena mereka tidak menunjukkan kasih kepada orang-orang yang berkesusahan.

Ada orang yang menyebut perumpamaan ini “kisah kejutan besar”; di satu pihak ke- jutan bagi orang-orang “benar” yang “tersandung di pintu masuk sorga”, yang sama seka- li tidak menyadari bahwa dengan menolong orang yang berkekurangan, mereka telah ber- hadapan dengan Kristus sendiri. Di pihak lain, adalah kejutan bagi mereka yang terhu- kum, yang pasti akan bertindak lain sekiranya mereka tahu bahwa orang-orang miskin yang ditolaknya itu adalah saudara-saudara Kristus sendiri.

Apakah pesan Allah yang terkandung dalam perumpamaan ini bagi kita sekarang ini? Bukankah perumpamaan ini mengajarkan kepada kita tentang pandangan Kristus bahwa salah satu dosa terbesar ialah sikap tidak berperikemanusiaan terhadap sesama kita, dan bahwa walau kini Dia telah “naik ke atas”, Dia masih memperhatikan mereka yang lapar, sakit, tersingkir, dan terpenjara? Bukankah Ia menantang kita untuk bertanya: Apa yang kini kita lakukan untuk menolong orang-orang miskin, lapar, dan menderita, yaitu yang disebut oleh Kristus sebagai saudara-saudaraNya? Tepat sekali apa yang dikatakan oleh martyr modern terbesar, Dietrich Bonhoeffer: Gereja sejati adalah gereja yang bereksis- tensi untuk orang lain [“pro-eksistensi”]. Seperti Allah sudah memelihara kita dalam Kristus, maka pada gilirannya kita pun terpanggil untuk memelihara anak-anakNya yang menderita yang melaluinya kini Kristus berhadapan dengan kita secara tersembunyi [kutip- an dari A.M. Hunter, Khotbah-Khotbah Masa Kini 2, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1985), hlm. 51ff.].

APA YANG ENGKAU LAKUKAN TERHADAP SESAMA?

Ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum – Matius 25:42

Kisah pemisahan antara domba dan kambing sangat akrab di telinga kita. Kepada domba Raja itu berkata, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah diediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Kepada kambing Dia berkata, “Enyahlah dari hadapanKu, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum.”

Tanggapan dari domba dan kambing sama, “Bilamanakah kami melihat Engkau haus dan kami memberi/tidak memberi Engkau minum?” Dan jawaban raja itu adalah, “Se- sungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan/tidak kamu lakukan untuk salah seorang daru saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannnya/tidak melakukannya untuk Aku.”

Kapan saja orang kesepian, tertekan, sakit, putus asa, dan terbelenggu dosa, ada Yesus yang berkata, “Aku haus.” Marilah kita memberi diri kita sendiri dan sumber daya yang kita miliki kepada orang lain. Marilah kita tanpa jemu-jemu bersaksi kepada sesama ten- tang Air Hidup. Dengan jalan demikian, kita memuaskan dahaga orang banyak. Karena Dia berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Andi, April 2002), hlm. 25].

ARE GOOD WORKS NECESSARY FOR ETERNAL LIFE? (25:35-36)

Jesus did not teach that good deeds form the basis of our salvation. The Bible shows

clearly that eternal life results from what God does, not by our works. Still, God intends that those who receive his grace will also do good works (Eph. 2:8-10).

True faith is more than just claiming to have faith. Genuine love for God will be expressed through service to others (1 Joh 3:16-18) --- not to earn salvation, but because a heart that truly loves God will be filled with compassion for others. Jesus wanted his followers to set the pace by helping those who were hurting. Good works that come from people grateful for God’s grace are at the heart of true religion (James 1:27) [kutipan dari Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1426].

- - - NR - - -

Temptations and Trials

Genesis 2:7-9, 16-18, 25; 3:1-7 Romans 5:12, 17-19 Matthew 4:1-11


The African lion and the wild cat look so much alike, yet they are different. An ancient African theory explains it this way. The same lioness gives birth to numerous cubs some of which are truly lions at heart and some of which are not. How does the mother lion know which is which? Months after the birth of the cubs, just before they are weaned, the mother lion leaves the den and then, in an unsuspecting moment, she jumps into the den with a thundering roar as if she was an enemy attacking the cubs. Some of the cubs stand up and fight back the presumed enemy while others flee the den with their tails between their legs. The cubs that hold their ground to face the danger prove themselves to be real lions. Those that run away prove to be mere wild cats, false lions. As testing distinguish true lions from the false so also does it prove true Christians from false ones.

Under the old covenant God subjected His people Israel to testing in the desert. They failed that test, which made a new covenant necessary. In today’s gospel reading we see Jesus the bearer of the new covenant being subjected to testing again in the desert. He stands his ground and gives the enemy a good fight, thus showing that he is truly the Son of God. Immediately before the Temptations of Jesus, Matthew has the story of the baptism of Jesus in which a heavenly voice declared of him: “This is my beloved son with whom I am well pleased” (Matthew 3:17). As he leaves the baptismal waters of Jordan to embark on his public ministry as the Anointed Son of God he had to go through the test. No child of God can go without trials, because this is the means to distinguish between a true and a false child of God. As Ben Sirach advises, “My child, when you come to serve the Lord, prepare yourself for testing” (Sirach 2:1).

Somehow we can understand, and are more comfortable with, the idea of testing or trial than with the idea of temptation. The fact, however, is that testing or trial or temptation are one and the same thing. In fact they all translate the same Greek word peirasmos. When we see the situation as coming from God, who would like us to pass the test, we call it a test or trial. And when we see it as coming from the evil one, who would like us to fail, we call it temptation. But both trials and temptations are experienced by us in exactly the same way: as a situation where the principle of evil (the devil) and the principle of good (the Holy Spirit) in us are vying for our allegiance and whichever one we vote for wins and becomes the master of our lives until we can reverse the decision.

Jesus is given three tests. The first one, to turn stones into bread, has to do with how we use our God-given gifts, talents and abilities. The temptation is for us to use our gifts to make a living for ourselves. But Paul tells us that spiritual gift are given to the individual “for the common good” (1 Corinthians 12:7). Jesus would later on in his ministry multiply bread to feed others. But he would not do it to feed himself. Do we see our talents and abilities, our jobs and professions, as a means to serve others or simply as a means to make a living for ourselves?

In the second test Jesus is tempted to prove that he is God’s son by jumping from the pinnacle of the Temple and letting the angels catch him as was promised in the Scripture: “For he will command his angels concerning you to guard you in all your ways. On their hands they will bear you up, so that you will not dash your foot against a stone” (Psalm 91/90:11). Though Jesus fully believes the word of God, he would not put God to the test. This contrasts sharply with the case of a college student in Nigeria who claimed that he was born again and to prove it he jumped into the lion’s cage in the zoo because the Bible promises that nothing can ever harm God’s children. Maybe his soul is in heaven today but his body provided a special lunch for the hungry lions that day.

In the third temptation the devil promises Jesus all the kingdoms of the earth if only Jesus would worship him. Jesus wants the whole world to acknowledge him, of course, but would he achieve that by worshipping a false god? Can we pursue our goals by any means whatsoever? Does the end justify the means? Jesus says no. He remains steadfast and faithful to God, rejecting the short-cuts offered by the devil. In the end he attains an end more glorious than that offered by the devil: “All authority in heaven and on earth has been given to me” (Matthew 28:18).

Today, let us realise that as God’s children we too are under constant testing. If you do not know it, then try to answer these questions: Will you keep believing in God whether or not you get that one thing that you have always been praying for? Would you still believe that God loves you if you or your loved one contracted a shameful disease that has no cure, and God does not give you healing in spite of all your prayers? Do you sometimes put God to the test and say: “If you do this for me, then I will serve you, but if not, I will have nothing more to do with you.” Jesus shows us today that to serve God is to surrender ourselves to Him unconditionally and in all situations.

07 Februari 2008

Roma 15: 1-6

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar Dalam theologia Paulus makna karya keselamatan Yesus Kristus berkedudukan sentral. Oleh karena itu, dengan sendirinya soteriologi [ajaran tentang keselamatan] itu juga meng- arahkan dan memberi dasar bagi etika Paulus, sebab karya keselamatan Yesus Kristus dijadikan satu-satunya patokan bagi kehidupan dan tingkah-laku orang-orang Kristen. [ . . . ] Berkaitan dengan ini, bila Paulus menekankan hal mengikut Yesus (mimesis atau imitatio), yang dimaksudkannya bukanlah jalan Yesus yang historis, seperti nampak misalnya dari penggunaan istilah “pengikut-pengikut Kristus” dan bukan “pengikut Yesus” (1 Kor 11:1). Yang harus dicontoh ialah mencari kepentingan orang-orang lain, sama seperti Kristus nyatakan dalam merendahkan diri untuk kita (pro nobis). Jadi imitatio Christi itu diberi arah bukan dari oknum Yesus yang historis, melainkan dari karya keselamatanNya. Pendirian Paulus ini juga nampak dalam Roma 15:1 dst, di mana Paulus menganjurkan jemaat untuk bertindak sama seperti Kristus. Ungkapan “sama seperti Kristus” di sini mengungkapkan baik makna yang bersifat sebab-akibat (kausal), maupun makna yang bersifat perbandingan (komparatif), yaitu: terimalah satu akan yang lain sebab dan sama seperti Kristus telah menerima kamu (ay. 7). Yang dimaksudkan Paulus di sini ialah, bahwa imitatio itu nampak baik dalam theologia crucis, yaitu dalam hal orang Kristen rela menerima kesengsaraan, maupun dalam hal orang Kristen melaksanakan kasih agape itu [kutipan dari Henk ten Napel, Jalan yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 126f.]. Informasi: Persekutuan Kristen harus ditandai dengan saling memperhatikan di antara ang- gotanya. Mereka harus saling memikirkan. Tapi jangan sampai justru membuat o- rang lain tak bertanggung jawab, karena tujuannya adalah untuk kebaikan mere- ka, yaitu membangun imannya. Bukannya karena toleransi orang menjadi malas berjuang, melainkan karena mengetahui, bahwa lebih mudah memenangkan o- rang dengan kasih daripada menyerangnya dengan kritikan-kritikan yang tajam [kutipan dari William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Roma, terj. (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 290].

2. Eksposisi

[Sumber utama: Quest Study Bible (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 2003), p. 1628].

2.1. Ayat 1 : Siapakah yang dimaksud dengan [orang-orang] yang “kuat” dan “tidak kuat” (NIV: “the strong”, “the weak”)? Orang-orang yang “kuat” imannya adalah mereka yang memahami bahwa bebe- rapa jenis makanan, kalau dimakan, bukanlah merupakan tindakan yang menga- kibatkan dosa. Dengan itu mereka bebas memakannnya dengan hati nurani yang murni (14:23). Mereka yang “tidak kuat” imannya belum mencapai pemahaman tadi. Jadinya kalau mereka memakannya, hati nurani mereka tidak sejahtera, dan jadinya merasa berdosa (14:23). Yang “kuat” imannya tidak harus merubah pan- dangan atau pola (standar) kelakuan mereka. Mereka hanya diharapkan untuk ti- dak memamerkan kebebasan mereka itu, terutama di hadapan rekan-rekan yang masih “tidak kuat” imannya. Paulus sendiri merasa termasuk golongan orang- orang yang “kuat” imannya.

2.2. Ayat 4 : Haruskan kita membaca Perjanjian Lama seakan-akan ditulis untuk kita? Hendaknya dibedakan antara sesuatu yang ditulis untuk kita dengan yang ditulis untuk “menjadi pelajaran” bagi kita. Perjanjian Lama mula-mula ditulis untuk umat Israel di masa lampau. Tetapi sebagai keturunan Abraham secara rohani, kita dapat menimba banyak pelajaran dari Perjanjian Lama (bnd. 1 Kor 10: 6, 11). Bagaimana Kitab Suci memberi “penghiburan” (NIV: “encouragement”)? Kitab Suci memberikan pengharapan, karena membeberkan masa depan yang cerah dan mulia bagi orang-orang percaya; karena mengingatkan kita akan anu- gerah dan kuasa Allah, yang memberi kekuatan dan ketahanan iman bagi orang-orang percaya; karena menyuguhkan contoh-contoh dari mereka yang berdiri kokoh dalam iman, sehingga menantang kita untuk meneladani mereka.

2.3. Ayat 5-7: Dapatkah orang-orang Kristen menerima dan/atau menyetujui apa saja? Tidak selalu. Anjuran Paulus di sini bertujuan agar kita jangan “membebek” saja. Juga bukan untuk menghindari ketidak-sepakatan. Tujuan utama ialah untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu adalah perlu untuk membedakan antara apa-apa yang mutlak, keyakinan-keyakinan pribadi dan pilihan-pilihan pribadi. Melampaui perbedaan-perbedaan tadi, kita harus tetap mengupayakan persatuan dalam Kristus. Perbedaan tadi malah menyemarakkan dan menambah pujian dan pelayanan kita kepada Tuhan, karena melalui perbedaan tsb. kita masing-masing beroleh karunia yang dapat digabungkan untuk memuliakan Allah.

Infomasi:

Persekutuan Kristen harus ditandai dengan keserasian/harmoni. Bagaimana- pun lengkapnya hiasan gereja, bagaimana pun sempurnanya ibadah dan musiknya, bagaimana pun banyaknya persembahannya, semuanya itu tidak menandai suatu persekutuan Kristen jika tidak ada harmoni. Bukan berarti tidak akan ada perbedaan pendapat, perdebatan atau perbantahan; melainkan mereka yang ada dalam persekutuan Kristen akan menyelesaikan masalah kehidupan ini bersama-sama. Mereka yakin, bahwa Kristus yang mempersatu- kan mereka adalah jauh lebih besar daripada perbedaan yang bisa memisah- kan mereka [kutipan dari Barclay, op. cit., hlm. 292]. Verses 5-6 are in the form of a benediction. Paul’s prayer is that the God who gives endurance and encouragement (through Scripture, . . .) may give you a spirit of unity among yourselves, or literally, ‘may give you to think the same thing among yourselves’ (5a). This can hardly be a plea that the Roman Christians may come to agree with each other about everything, since Paul has been at pains to urge the weak and the strong to accept each other in spite of their conscientious disagreement on secondary matters. It must therefore be a prayer for their unity of mind in essentials [kutipan dari John R.W. Stott, The Message of Romans (Leicester, England: IVP, 1994), p. 371]. 3. Excursus Sermon Suggestions “Let All the Peoples Praise Him” Text: Rom. 15:4-13, RSV. God’s will for us: to live in harmony with one another. A pattern for this harmony: mutual welcome in the faith, as Christ has welcomed us, the unworthy. A case in point: God’s outreach through Christ to the Gentiles. [kutipan dari James W. Cox (ed.), The Ministers Manual (Doran’s), 1989 Edition (San Francisco: Harper & Row, 1988), p. 350].
- - - NR - - -

Yohanes 19:25-27

(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pengantar Penyaliban [ . . . ] Ada dua cara yang dipakai untuk memancangkan korban pada salib --- tali dan paku --- dan yang dialami Yesus adalah yang paling kejam. Dia dipaku pada salib dan tergantung sebagai seorang pemberontak di antara pemberontak-pemberontak, suatu pemandangan yang sering dilihat sebelum dan sesudahnya, dengan papan ejekan “Raja orang Yahudi” guna menekankan betapa bodohnya menantang keperkasaan Roma. [ . . . ] Kebanyakan korban penyaliban akan mengutuk dan berteriak sewaktu mereka masih ku- at. Yesus mati [. . . sangat cepat . . . dengan tiba-tiba] dengan mengucapkan sebuah doa (Luk 23:46). Dan beberapa kata-kata-Nya yang dicatat sebelum itu menunjukkan lebih banyak ke- pedulian bagi orang-orang lain daripada bagi diri-Nya sendiri (Luk 23:34,43; Yoh 19:26-27) [kutipan dari R.T. France, Yesus Sang Radikal, terj. (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm. 147f.].

2. Renungan-Renungan

2.1. TETAP PEDULI DI TENGAH PENDERITAAN Yesus melihat ibuNya –Yohanes 19:26 Tahukah Anda bahwa Injil tidak pernah mencatat ucapan Yesus menyangkut Yusuf? Atau apakah selama ini Anda memperhatikan bahwa Yesus pun tidak pernah memanggil Maria sebagai “Ibu-Ku”. Dia juga sangat jarang membicarakan tentang Maria. Ketika Dia membincangkannya, Yesus menggunakan panggilan “perempuan”. Meskipun demikian, Yesus sangat menghormati dan mengasihi ibu-Nya. Bukti nyata- nya ditunjukkan pada saat peristiwa penyaliban. Di tengah penderitaan yang luar biasa, “Yesus melihat ibu-Nya” dan menunjukkan kepedulian. Dia ingin memastikan bahwa se- peninggal Dia nanti, ada orang yang menemani dan merawat ibu-Nya yang sudah beran- jak senja. Dia menyerahkan ibu-Nya supaya dijaga oleh Yohanes, yaitu murid yang sa- ngat dikasihi-Nya. Fakta lainnya yang menarik, Yesus tidak menyerahkan tanggung jawab itu pada anak-anak Maria yang lain [juga karena hingga saat itu mereka belum percaya kepa- daNya (Yoh 7:5)] . Meskipun mereka darah dan daging Maria sendiri, tetapi tidak mem- punyai hubungan sedekat antara Maria dengan Yohanes sebagai sesama orang perca- ya. Hal ini adalah misteri indah tentang kesatuan dalam Kristus yang saling menguatkan di antara orang percaya. Penderitaan yang kita alami sering kali membuat kita berkutat memikirkan diri kita sendiri. Segenap daya upaya dan pikiran kita diarahkan untuk memikirkan dan mengatasi masalah itu. Akibatnya kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri dan cuek pada kea- daan disekitar kita. Tetapi Yesus tidak begitu. Dia justru mempedulikan orang yang me- nancapkan paku ditangan dan kaki-Nya. Dia peduli pada penjahat yang bertobat. Dia juga masih memikirkan perempuan yang melahirkan diri-Nya. Bagaimana hubungan Anda dengan sesama orang percaya? Apakah Anda mempedulikan kebutuhan mereka? [kutipan dari Renungan Malam, Tujuh Ucapan Yesus di Kayu Salib, terj. (Yogyakarta: Yayasan Andi, April 2007), hlm. 13].

2.2. HATI IBU YANG TERIRIS Ibu, inilah anakmu! – Yohanes 19:26 Sekitar 30 tahun sebelum penyaliban di Kalvari, Maria sudah diberi tahu bahwa “suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (Luk 2:35). Selama bertahun-tahun kemudian, dia harus merasakan kepedihan hati mendengar umpatan-umpatan yang diucapkan mulut pemuka agama yang iri hati. Maria pernah mendengar Anaknya itu dihina sebagai anak haram, setan, dan penghujat Allah. Hati seorang ibu mana yang tidak teriris-iris mendengar anaknya dihina seperti itu. Namun, tikaman pedang yang paling dalam ada- lah ketika Maria melihat Putranya terpancang di kayu salib. Dalam nyanyian pujiannya yang indah, Maria pernah mengucapkan “Allah jurusela- matku.” Artinya, sama seperti manusia keturunan Adam yang lain, Maria juga memer- lukan Penyelamat. Tetapi, supaya bisa menjadikan Yesus sebagai Juru Selamatnya, dia terkendala hubungan antara ibu dan anak. Mana mungkin dia minta keselamatan pada anak kandungnya sendiri. Kata-kata yang diucapkan Yesus dalam ayat renungan kita . . . bertujuan untuk meng- akhiri hubungan antara ibu dan anak. Pada saat itu juga hubungan ibu dan anak sudah putus. Yesus bukan anak Maria lagi. Bila Maria memerlukan anak secara kemanusiaan, dia bisa menganggap Yohanes sebagai anaknya. Lalu siapa Ibu Yesus? “. . . barangsia- pa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempu- an, dialah ibu-Ku” (Mrk 3:33). Ketika Yesus masih berusia 12 tahun, Maria pernah mendengar Putranya berkata, “A- ku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku.” Dan setelah bangkit dari kematian, Yesus kembali mengatakan hal itu. Dengan begitu, Yesus telah menyingkirkan halangan bagi Maria untuk mempercayai Yesus sebagai Juru Selamatnya. . . . Sudahkah Anda [juga] mempercayai Yesus sebagai Juru Selamat Anda? [kutipan dari Ibid., hlm. 14].

2.3. TINDAKAN NYATA Kemudian kataNya kepada muridNya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya – Yohanes 19:27. Kalimat “inilah ibumu” yang diucapkan Yesus dimaksudkan untuk menunjuk Yohanes supaya bertanggung jawab merawat Maria. Yesus ingin segala urusan menyangkut ibu- Nya sudah beres sebelum Dia kembali ke surga. Sikap ini mengajarkan kita tentang pen- tingnya tanggung jawab sosial orang percaya. Kita yang mengaku mengasihi Tuhan, se- mestinya juga mengasihi sesama kita. Caranya [ialah] dengan menunjukkan kepedulian secara aktif kepada orang yang letih-lesu, terbeban, sakit, janda/duda dan anak yatim piatu. Pelayanan seperti ini sudah menjadi ciri khas orang Kristen. Di berbagai penjuru dunia, program seperti pemberian bantuan hibah, rumah sakit, sanitarium, rumah sakit kusta, sekolah dan bantuan pertanian telah mendapatkan peng- akuan dan penghargaan internasional. Misi bantuan darurat, perkemahan kaum muda dan banyak kegiatan lain dilakukan dengan landasan semangat kekristenan, yaitu perca- ya bahwa kasih kepada sesama dan kepada Tuhan adalah satu kesatuan yang tak terpi- sahkan. Yohanes menunjukkan kasihnya kepada Tuhan dengan menerima tanggung jawab menampung Maria di rumahnya. Sikap kasih ini tentu saja juga ditunjukkan oleh istri dan anak Yohanes yang menerima Maria dengan sukacita. Hati Maria yang terluka menjadi terobati oleh kehangatan keluarga Yohanes. Dari semua hal itu, Yohanes belajar satu hal, yakni bahwa sebagai bukti kita mengasihi Tuhan adalah dengan mengasihi sesama manusia secara nyata. Di masa krisis ini, banyak orang miskin yang membutuhkan kita. Berbahagialah kelu- arga Kristen yang menunjukkan perbuatan kasih secara nyata. Tanpa mereka sadari, mereka telah membuat malaikat surga bersukacita [kutipan dari Ibid., hlm. 15].

3. Informasi

There is something infinitely moving in the fact that Jesus in the agony of the Cross, when the salvation of the world hung in the balance, thought of the loneliness of his mother in the days ahead. He never forgot the duties that lay to his hand. He was Mary’s eldest son, and even in the moment of his cosmic battle, he did not forget the simple things that lay near home. To the end of the day, even on the Cross, Jesus was thinking more of the sorrows of others than of his own [kutipan dari William Barclay, The Daily Study Bible, the Gospel of John, Volume 2 (Edinburgh: the Saint Andrew, 1981), p. 257].
(NR)

06 Februari 2008

Kis 10: 1- 48

PENCURAHAN ROH DI KAISAREA
(Beberapa Catatan dan Informasi/Kutipan Lepas)

1. Pertanyaan pertama yang perlu dimunculkan ialah mengapa Petrus yang diutus Tuhan ke Kaisarea? Bukankah di sana sudah ada Filipus (8:5) yang sudah lebih duluan mengabarkan Injil di sana? Mengapa justru Petrus yang harus jauh-jauh datang dari Yerusalem? Pemba- caan dari perikop kita hari ini menyiratkan bahwa Allah ingin merontokkan “tembok pemisah rasial” dalam hati Petrus.

2. Cukup menarik untuk memperbandingkan pandangan/sikap Petrus kepada Kornelius dengan pandangan/sikap Tuhan sendiri kepada Kornelius. PETRUS terhadap KORNELIUS ALLAH terhadap KORNELIUS * Kornelius tinggal di Kaisarea [wilayah * Kornelius adalah seorang yang “orang kafir”], markas tentara yang saleh (10:2). penjajah Romawi (10:1) * Perwira pasukan pendudukan Romawi * Takut akan Allah termasuk seisi (10:1). rumah/keluarga-nya (10:2). * Dari pasukan Italia --- semuanya orang * Penyumbang besar bagi orang- Italia --- “orang-orang asing” (10:1). orang miskin (10:2). * Jadinya bukan orang Yahudi (10:1). * Seorang yang tekun berdoa. Doa dan sedekahnya berkenan di hadirat Tuhan (10:2, 4). * Karena itu dianggap najis, sama * Patuh dan hormat kepada ma- seperti binatang-binatang bagi orang- laikat Tuhan (10:7-8). orang Yahudi (10:11-16). * “Haram” untuk dikunjungi (10:28). * Dinyatakan tidak haram oleh Tuhan (10:15). * Tak bersunat; haram untuk makan * Amat mendesak untuk Petrus bersama (11:3). datangi (10:5. 19-20).

2.1. Untuk Petrus, dan sebagai seorang Yahudi sejati, apa yang diutarakan di atas seyogya- nya membuat Kornelius “tahu diri” untuk tidak mengundang Petrus datang ke rumahnya. Lebih tak pantas lagi bagi Kornelius untuk se-kepercayaan dengan orang- orang Yahudi. Harap disadari bahwa pandangan Petrus di atas merupakan pandangan rata-rata semua orang Yahudi pada jaman itu. Ketika menjadi Kristen adalah masih sangat sukar bagi mereka untuk melepaskan pandangan di atas, termasuk Petrus sendiri Jadinya betapa sukarnya pula bagi mereka untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang bukan Yahudi (Inggris: “Gentiles”), seperti a.l. Kornelius.

2.2. Betapa pandangan/sikap Tuhan bertolak belakang dengan pandangan/sikap Petrus tadi. Demi dan karena PutraNya, Allah mulai membuka pintu bagi orang-orang bukan Yahudi. Tuhan menghardik Petrus, kataNya: “Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (10:15; bnd. Mrk.7: 19). Karena Kristus, perwira itu, yang walaupun bukan orang Yahudi, dapat ditahirkan dari dosa dan dengan itu ia menjadi layak di hadapan Allah. Dengan itu pula “tembok pemisah rasial” di hati Petrus dirontokkan, ketika Roh Kudus dicurahkan juga kepada Kornelius dan orang- orang bukan Yahudi lainnya yang berkumpul di rumahnya saat itu (10:44-45). Topik untuk Diskusi (1): Pandangan/sikap Petrus di atas merupakan contoh dari pandangan/sikap eksklusif. Di mana letak perbedaan pandangan/sikap Petrus itu dengan pandangan/sikap saudara- saudara sebangsa kita yang melarang golongan Islam Ahmadiyah dan/atau menutup gedung-gedung gereja, bahkan disertai dengan tindakan kekerasan atau dengan ancaman?

3. Kisah Para Rasul melaporkan empat peristiwa pencurahan Roh Kudus, masing- masing dengan ke-khas-annya. Dalam Kis 2:1-4 Roh dicurahkan kepada (i) orang-orang Yahudi. Dalam Kis 8:15-17 kepada (ii) orang-orang di tanah Samaria. Dalam Kis 10:44 dst. kepada (iii) orang-orang bukan Yahudi (Inggris: “Gentiles”). Dalam Kis 19:6 kepada (iv) para pengikut Yohanes [Pembaptis].

Catatan: Bagi kita orang-orang Kristen di Indonesia, yang merupakan orang-orang bukan Yahudi, peristiwa pencurahan Roh di Kaisarea (Kis 10:44 dst.) pada dasarnya tak kalah pentingnya dengan peristiwa Pentakosta di Yerusalem (Kis 2:1-4). Mengapa demikian? Karena di Kaisarea-lah untuk pertama kalinya Roh Kudus dicurahkan atas orang-orang bukan Yahudi (10:45). Pentingnya peristiwa pencurahan Roh di Kaisarea juga didukung oleh kenyataan bahwa sebanyak dua kali peristiwa ini dituturkan dalam Kisah Para Rasul, yakni dalam (i) perikop bacaan kita, dan (ii) dalam 11:15 dst. Dan Kornelius? “[He] is the pagan saint par excellence of the New Testament,” demikian pernyataan Dr. Clark H. Pinnock [Sumber dan kutipan bahasa Inggris dari Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nash- ville, Tenn.: Thomas Nelson, 1998), p. 1090; huruf tebal oleh penulis].

4. Pertanyaan Petrus dalam ayat 47 hendaknya lebih banyak dipahami sebagai tantangan Petrus yang ditujukan khusus kepada orang-orang Yahudi Kristen yang menyertainya dari Yope (ayat 23 dan 45). Petrus mau menandaskan kepada mereka bahwa ternyata orang-orang tidak bersunat pun dihinggapi Roh Kudus, sama seperti yang dialami oleh orang-orang Yahudi yang bersunat pada peristiwa Pentakosta di Yerusalem sebelumnya. Tindakan “membaptis . . . dengan air” (ayat 47) merupakan akta simbolis yang menandai pelepasan dari kuasa kegelap- an dan dipindahkan/dialihkan ke dalam Kerajaan AnakNya (Kol 1:13). Catatan: Pemahaman di atas penting dihayati, justru karena saudara-saudara se-iman kita dari gereja-gereja aliran “Pantekosta” dan/atau golongan Karismatik merujuk, antara lain, pada peristiwa Kaisarea tsb. sebagai landasan untuk “keharusan” seseorang berusaha memperoleh baptisan Roh.

5. Ilustrasi.
Gary Dougherty, seorang Penginjil yang melayani di RBC Ministries di Grand Rapids, Michigan, sedang dalam perjalanan ke rumah dari gereja pada suatu sore, saat ia melihat seorang pria muda datang dari arah yang berlawanan dengannya. Suatu dorongan yang kuat muncul di dalam diri Gary untuk berbicara kepada pemuda ini mengenai menjadi seorang Kristen. Awalnya dia ragu-ragu, namun kemudian dia berkata kepada orang yang benar-benar asing baginya itu, “Maafkan saya, tetapi saya percaya Allah menginginkan saya untuk memberi tahu Anda tentang bagaimana menjadi seorang Kristen.” “Saya baru saja mengajukan pertanyaan itu kepada ibu pacar saya,” kata pemuda itu, “tetapi dia tidak tahu.” “Maksudnya, Anda mau menjadi seorang Kristen?” tanya Gary. “Ya, saya mau!” jawabnya. Masih dalam keraguan, Gary bertanya lagi kepadanya dan kemudian menceritakan rencana keselamatan dengannya. Malam itu, seorang pemuda menerima Yesus sebagai Juru Selamat- nya (dikutip dari Santapan Rohani, Minggu, 13 Nopember 2005) Topik untuk Diskusi (2): Petrus mula-mula berprasangka dan ragu-ragu. Gary dalam ilustrasi di atas kurang-lebih sama. Tetapi kedua-duanya dengar-dengaran kepada Roh Kudus. Bagaimana dengan kita? Maukah kita mendengar dan menaatiNya bila Roh berkata: “. . . jangan bimbang, sebab Aku yang menyuruh . . . (10:20).

- - - NR - - -

04 Februari 2008

Like Parents, Like Children

http://munachi.com/z/presentation.htm

http://www.christianitytoday.com/tc/2008/001/8.7.html

Malachi 3:1-4 Hebrews 2:10-11, 13-18 Luke 2:22-40

A scholar was conducting a study of an Amish village. The Amish are a branch of the Mennonite church who live in traditional rural villages far from industrialization and technology: no computers, televisions, refrigerators and telephones. In his study of the Amish village school, the researcher noticed that Amish children never screamed or yelled. That surprised him. So he decided to check it out with the schoolteacher. He told the teacher that he had not once heard an Amish child yell, and asked him why that was so. The teacher replied, “Well, have you ever heard an Amish parent yell?” The inference is clear: Like the parents, so the children!

We are all familiar with Mother’s Day and Father’s Day which we celebrate every year. Why is there not a Parents’ Day where we celebrate father and mother together as a couple? Today should be a good day to focus on both parents together, as we see both parents of Jesus, Joseph and Mary, together make the long journey to Jerusalem to present their firstborn child in the Temple as the law of God required. In the image of Joseph and Mary presenting Jesus in the Temple, we have a wonderful model of husband and wife united in practicing the faith and in raising their child in the faith.

We read that “When the time came for their purification according to the law of Moses, they brought him up to Jerusalem to present him to the Lord” (2:22) There is a confusion of detail here because, according to Jewish law, purification was for the mother alone while presentation was for the child. The story appears to be speaking of the two ceremonies as if they were one. Luke stresses the fact that they are doing it “as it is written in the law of the Lord” (verse 23). Joseph and Mary are presented as people who keep God’s laws. Moreover, they are presented as doing it together. It is easier to walk in the ways of God when husband and wife walk it together and encourage each other along the way. The author of Ecclesiastes had something like this in mind when he wrote: “Two are better than one, because they have a good return for their work: If one falls down, his friend can help him up. But pity the man who falls and has no one to help him up!” (Ecclesiastes 4:9-10). Husband and wife are companions in the journey of life, especially in the journey to our ultimate destination. We see this as we contemplate Joseph and Mary together in the Temple in obedience to God’s law.

The aspect of today’s celebration that some people have a problem with is this: why would the baby Jesus, who is not in a position to say yes or no, be initiated into the Jewish religion without his consent? This is a problem especially for those of us who question the value of infant baptism. Some Christians today feel that baptism has no value until a child reaches the age of reason and then is able to decide for oneself. But this is not the example that Mary and Joseph are giving us today. The concern about the value of infant baptism is a concern that is born out of the exaggerated individualism of the modern society. In the biblical era, people saw the whole family as one entity. The question of husband, wife and child belonging to different religions was unthinkable because religion was supposed to play a role in cementing the family unity. Thus we hear in Acts of the Apostles that when certain men and women were converted, they were baptised together with all their household (Acts 16:15, 31; 18:18).

If parents are supposed to provide their children with the basic necessities of life, what is more basic than one’s faith in God. No parents would think of allowing their children to decide whether they want to go to school or not, whether they want to learn the common language or not, whether they want to be a citizen of their country or not. We make these decisions for them, knowing fully well that when they grow up, they may decide to continue with what we gave them or abandon it. But only a foolish parent would refuse to send a child to school or teach a child their language and tradition in the name of respecting the child’s freedom to choose. Similarly parents have a responsibility to initiate their children into their faith traditions. This is what we see today in the feast of presentation as Joseph and Mary present Baby Jesus in the Jewish Temple.

As parents, we have the duty and privilege of raising our children in such a way that they grow up to become good and responsible citizens as well as committed children of God. The example of Joseph and Mary, and the example of the Amish community, show us that the best way to achieve this is not just by talking and shouting at them but by leading the way and showing them by the example of our own lives.

Humor from our readers

http://www.christianitytoday.com/tc/2008/001/8.7.html

Kids of the Kingdom

Bragging on Mom
I recently read a story to a kindergarten class at my hometown church. I stopped reading at one point to ask, "Does anybody know what the word 'brag' means?" "Oh, I know that word!" replied a precocious little girl. "My mommy does it all the time!"

—Allison Lee, Orlando, Florida

Going Out With a Bang!
When my dad, a WWII vet, died, he had a military burial with a color guard, taps, and a 21-gun salute. A few days later, I learned from our babysitter how my 4-year-old daughter, Grace, had described the scene: "I went to a funeral. We went to a church, then we went to the seminary (cemetery) and everyone cried and cried. And then they shot Grandpa and it was over."

—Mary Officer, West Des Moines, Iowa

Adapting to Adoption
Our adopted son, Isaac, invited a friend to attend church with us one Sunday. His friend Zack asked Isaac, "Have you been baptized?" Isaac thought a minute, and then sagely answered, "No, I was adopted!"

—Melissa Baldwin, Granger, Indiana

Donkey Woes
Our 3-year-old daughter, Kerry, had a small role in the Christmas drama at church. She rehearsed the story over and over at home. She became Mary and her doll was Baby Jesus. She walked past me carrying the baby from her room to the den several times, and said, "I guess you wonder why we are walking."


"Yes, Mary, I do. Why are you walking?" I asked.

"Well," she replied with obvious disgust, "our donkey died!"



—Winnie Holley, Jasper, Georgia